BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Menurut Kompas
(2010) Edisi Maret, Sudah sepatutnya
kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan negeri
tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya Indonesia menempatkan
diri sebagai salah satu negara miskin didunia.
Prestasi
itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana segar dan
semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang. Sungguh ironis,
namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin tampak nyata
dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak bangsa dan peluh para
buruh yang terkapar.
Pembangunan di Indonesia saat ini
telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan
pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya
terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan
sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh
pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks,
karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam
masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu
bentuk yang masih semu. Apakah karena secara struktural Indonesia ini
miskin atau mungkin secara kultural
Indonesia ini miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti
malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan
dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh
sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat,
cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kemiskinan
struktural?
2. Bagaimana kemiskinan
kultural?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui tentang kemiskinan Struktural.
2. Untuk Mengetahui tentang kemiskinan Kultural.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kemiskinan
Struktural dan Kemiskinan Kultural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
(Lubis,1986).
Struktur ini menyebabkan tidak
adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam
pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan.
Menurut Fakih (2001), Kemiskinan, dalam realitasnya
selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu
kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan
di bawah batasan nominal tertentu.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan,
merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah
pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam
lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat
luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan
bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat
dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak
berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya
kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari
belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama,
sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah,
terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh
kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama,
dan kalangan marginal lainnya.
B.
Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Penggalian tentang kemiskinan yang
selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang
kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat
miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai
dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait
dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi
tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki
daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan,
sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Beberapa faktor yang dianggap
sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek yaitu :
1. Kelembagaan: rakyat miskin
tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan
yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari
bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh
kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2. Regulasi: kebijakan
pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam
investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat
menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar
proses pemiskinan.
3. Good governance: tidak
adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa
mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin
sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya
penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial
budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya
lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a.
Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1) Tidak ada budaya demokrasi
yang mengakar.
2) Keputusan-keputusan politik
yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3) Tidak ada kontrol langsung
dari rakyat terhadap birokrasi.
4) Tidak berdayanya mekanisme
dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b. Aspek ekonomi yang
mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:
1) Kebijakan globalisasi atau
liberalisasi sistem ekonomi.
2) Rendahnya akses terhadap
faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3) Spekulasi mata uang.
c.
Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1. Hancurnya identitas
sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya kemampuan
komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3. Marginalisasi
mayoritas rakyat.
4. Lemahnya kelembagaan
yang ada.
5. Kuatnya budaya bisu
di semua lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam
penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya.
Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab
dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang
semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses
pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut
menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak;
dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan
pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan
kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa
dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak
aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin
memiskinkan rakyat .
Berbicara tentang kemiskinan
struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi miskin, dimana
masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan
akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat
orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas
atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat
yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena
turunan, atau karena dulu orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin,
sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang. Semakin banyak program-program
yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah
orang miskin (Sarmiati,2010).
Kemiskinan dalam perspektif ekonomi,
didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini
tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator
yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun
konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi
sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan
tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/orang
setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan
maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif
kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau
kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam
mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat
tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si
miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya.
Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut,
seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang
mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu
kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan
oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut
baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara
menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial.
Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain
harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial
yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi,
disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja
(malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam
menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan
sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun
masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini
adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan
struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan
kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak
mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih
berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak
ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh,
nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena
tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam
kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan,
merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah
pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam
lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat
luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan
bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat
dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak
berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya
kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari
belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama,
sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah,
terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh
kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama,
dan kalangan marginal lainnya.
Di dunia ini, sudah sunatullahnya
terdapat hal-hal yang bertolak belakang. Siang dan malam, kebaikan dan
keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga kaya dan miskin. Kemiskinan itu
sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dinilai sebagai suatu hal
yang harus diberantas hingga hilang dari permukaan bumi. Namun, permasalahan
timbul akibat jurang yang lebar antara kaya dan miskin sehingga lahirlah
permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks seperti kriminalitas, prostitusi,
kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah kesehatan dan pendidikan dsb.
Karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, dibutuhkan analisis yang
tajam serta penangangan secara komprehensif dan berkesinambungan oleh seluruh
pihak yang terkait dengan hal ini. Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009,
jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di
Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta 14,15 persen (BPS,2009)
Di Indonesia, fenomena
kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi ekonomi atau material saja. Ia juga
menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya sehingga muncullah istilah cultural
poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul
sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos kerja (Sriharini,2007). Karena penyebab
kemiskinan ini muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, maka upaya
menanggulanginya juga harus dari dalam diri manusia tersebut. Dalam aset
komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu masyarakat. Salah satunya adalah
modal spiritual.
Menurut Canda dan Furman (1999 dalam Adi 2008), Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber
dari empati dan perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari
kebijakan praktis, serta dorongan utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial
mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan profesional yang kita miliki
menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa adanya
spiritualitas.
Dorongan dalam diri
seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental manusia dengan kekuatan
lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di luar diri manusia,
yang membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah ke tujuan duniawi,
tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut
memiliki peran dalam proses pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat meliputi beberapa fungsi seperti, meningkatkan etos kerja dan
memberikan daya dorong atau semangat yang positif dalam melakukan pembangunan;
memberikan jiwa dalam upaya pemberian bantuan; memberikan arah dalam
pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap penyimpangan (Adi,2008).
Spiritualitas erat
kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah satu agama yang diakui di
Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat
menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber
ajarannya yaitu Al-Qur’an dan al-hadits serta mengimplementasikan secara
komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mencoba mengambil intisari dari Al –
Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.…”
Terdapat refleksi
sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1) Konsep perubahan masyarakat (taghyir),
yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses perubahan yang
memosisikan manusia menjadi pelaku perubahan baik secara individu maupun bagian
dari komunitas atau masyarakat. Berdasarkan pembentukan katanya, subjek pada
ayat tersebut adalah Qaum yakni sekelompok manusia yang berkumpul dan
terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa, yang disatukan oleh ikatan
tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang mendasari terbentuknya
faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini mengarah pada gerakan sosial
yang mampu menggerakkan masyarakat (massa) menuju sebuah tata nilai ideal. 2)
Konsep potensi diri. Berdasarkan tafsir Asy-Sya’rawi, Nafs (potensi
diri manusia) sebagai penggerak tingkah laku manusia. Dalam nafs
terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan keburukan. Maka dari itu kualitasnya
dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam diri manusia menjadi wadah dari
berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan peran manusia dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas nafs berimplikasi pada kualitas
SDM. Atas dasar itulah, salah satu aspek dalam masyarakat yang menjadi fokus
utama pengembangan adalah nafs (Misbahul,
2007).
Selain ayat tersebut,
terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang kemiskinan dari persprektif
Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya salah seorang di antara kamu
pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di atas punggungnya (untuk dijual), hal
ini lebih baik daripada pergi meminta-minta kepada orang lain baik ia diberi
maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
“Orang yang tidak memiliki sesuatu
yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga
diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta-minta” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
radhiyallaHu ‘anHu).
Menurut Musbikin (2008), Begitulah ajaran Islam menghargai usaha
dan proses seorang manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait
erat dengan hal tersebut, modal spiritual juga mengorientasikan daya yang kita
punya kita bukan hanya untuk kehidupan di dunia saja, melainkan juga untuk
mencapai kebahagiaan hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam
menjalani usaha atau prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas
segala rezeki yang dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang
ada pada kita sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu,
niscaya jiwa pun akan merasa tentram.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman
yang utuh tentang ajaran Islam sebagai salah satu substansi dari modal
spiritual, seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk
memperbaiki kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara
“sukarela” menjadi miskin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan
struktural yaitu:
1. Pemahaman akan kemiskinan
yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji
dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan
kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara
terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan
publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2. Kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat
perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3. Tidak ada evaluasi atas
kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang
terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang
muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya
kebudayaan kemiskinan melingkupi beberapa hal, diantaranya:
1. Hancurnya
identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya
kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan
sosial.
3. Marginalisasi
mayoritas rakyat.
4. Lemahnya
kelembagaan yang ada.
5. Kuatnya
budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
B.
Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang
bersifat konstruktif kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan
untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis,
Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan
Kemiskinan Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti
Fakih,
Mansour.2001. Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: INSIST PRESS
Kompas, 20
Maret 2010
Rukminto, Adi Isbandi. 2008. Intervensi
Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta : Rajawali Pers
Ulum, Misbahul. 2007. Model-model
Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA
Musbikin, Imam. 2008. Mengapa
Allah Membuatku Miskin? Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari Kemelut
Kemiskinan. Yogyakarta : DIVA Press
Sriharini.
2007. Model-model
Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA
Sarmiati.
2010. Pemerhati P2KP di Sumba Barat, KMW
XII P2KP-3 NTT, NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar